Sekedar Info

Perkenalan “pemilik” dunia lain

Perkenalan “pemilik” dunia lain
Kejadian ini bermula ketika aku masih berumur sekitar 8 tahun, ketika itu aku kelas 2 SD. Waktu kecil memang waktu yang menyenangkan untuk bermain, khususnya di masaku yang tidak secanggih dan se gadged sekarang, banyak sekali permainan tradisional yang bisa digunakan untuk mengisi waktu, menghibur diri dan berbagi bersama dengan teman-teman sebaya. Contohnya, bermain kelereng, kasti, lempar kereweng, petak umpet dan lain sebagainya.
Keadaan ini jelas berbanding terbalik dengan jaman sekarang, kalo dulu tahun 90an anak-anak di sibukkan dengan sosialisasi diluar kamar ataupun rumah, tapi masih dalam lingkup aman yaitu halaman rumah, beda dengan sekarang, anak-anak justru “terkungkung” di depan gadget meraka, bahkan ta jarang mereka tidak kenal teman se tetangganya.


Namun semua itu ada baik dan buruknya, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamanya masing-masing, jika kita menilik ke berbagai kasus yang terjadi di televise, mungkin kita akan lebih merasa aman jika anak kita bermain di rumah saja.
Kembali ke perkenalanku dengan “pemilik” dunia lain, waktu itu setelah jamaah magrib di mushola sebelah rumahku, tepatnya di barat rumahku, aku dan teman-teman ke halaman teras bpk. Sahil untuk bermain, sudah menjadi kebiasaan kami untuk bermain bersama-sama setelah selasai mengaji dan untuk menunggu adzan isya’.
Singkat cerita, waktu itu kami bermain obak delik, atau dalam bahasa Indonesia di sebut dengan petak umpet, kebetulan yang bermain waktu itu ada 6 anak termasuk saya, yang lima lainya adalah asen, maskur, marto, supri dan sinto. Kelimanya memang mengaji dimushola itu setiap hari.
Depan rumah pak sahil memang luas, jadi untuk bermain cukup nyaman, dihalaman tersebut ada beberapa pohon besar yang cukup asik untuk bersembunyi, yaitu pohon nangka, jambu dan mangga, namun dibalik keasikan tersebut kalo diperhatikan benar-benar kita pasti merasakan ke angkeran, terutama di pohon nangka.
Waktu itu giliran yang jadi penjaga pertama adalah asen, dan kami berlima akhirnya bersembunyi di tempat favorit masing-masing. Asen menghadap ke tembok dengan menghitung 1 sampai 10, selama hitungan itu kami berlima berlari mencari tempat sembunyi, setelah hitungan ke 10 mulailah asen mencari kami.
Setelah beberapa lama mencari-cari akhirnya asen menemukan aku untuk pertama kali, kemudian maskur, marto, supri dan terahir sinto. Sial bagiku, karena menurut aturan yang ketemu pertama berarti giliran jaga selanjutnya. Dan itu yang aku lakukan.
Kemudian aku pun berbalik menhadap tembok, seperti halnya yang di lakukan asen sebelumnya, aku juga berhitung dari 1 sampai 10. Di masa itu semuanya terlihat wajar seperti tadi namun kejadian yang membuat bulu kuduku merinding dan teringat sampai sekarang terjadi setelah hitungan 10.
“sepuluh” . . . aku pun langsung berbalik badan dan mulai melihat kiri kanan, mencari sosok-sosok temanku tadi,  
“aneh.. kok sepi, tidak seperti tadi” batinku mencoba memberanikan diri. Rasanya waktu itu keadaan hening, tidak ada suara- suara teman-teman yang ada dimushola, padahal sewaktu asen tadi yang jaga aku masih bisa mendengar teman-teman yang dimushola.
Kemudian aku berjalan kea rah kiri, menoleh kea rah tembok benteng, “mungkin asen sembunyi di sini, biasanya dia kan disini” batinku.
Dan ketika ku cari.. “waladalah..ora enek opo-opo, biasane yo ngumpet nek kene” , serasa hatiku mulai diliputi sedikit rasa takut. Lirih-lirih kudengar ada suara ketawa cekikian di sebelah kanan ketika tidak kutemukan asen di tembok tadi.
“Ah…mungkin itu mereka bersembunyi disana” aku pun bergegas kea rah kanan, dan itu tepat mengarah ke pohon mangga yang besar.
“paling podo ngumpet nek wit pelem iki arek-arek” batinku dengan gembira merasa akan menemukan mereka. Dan ternyata ketika aku lihat dibalik pohon mangga kembali mataku terbelalak heran, “ora enek maneh, lah nandi to, mau krunguku nek kene”, rasa takutku mulai bertambah lagi dengan kejadian itu.
Akhirnya aku berjalan kea rah selatan, disana ada pohon nangka, “wah pasti nek kene arek-arek” batinku lagi.
Kemudian aku terus berjalan ke arah pohon itu, sekitar 10 meter dari pohon itu terlihat samar-samar bayangan putih namun sedikit, “lah kae sarunge marto jelase, warnae putih mau”.
Semakin mendekat terlihat semakin jelas bayangan putih tadi, dan kemudian lama kelamaan bayangan itu bergerah seperti keluar masuk pohon, seketika itu seolah kaki dan badanku kaku, tidak bisa bergerak, dana mataku terus menatap bayangan tadi.
Kemudian bayangan tampak jelas melayang, “lho mosok marto mabur” batinku, hati ini sudah mulai ketakutan, dan akhirnya bayangan itu menoleh kepadaku.
“ astagfirulloooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooh” Astagfirulloooooooooooooooooh” , bayangan itu tidak bermuka, hitam pekat hanya terlihat bentuk lingkaran wajah karena kain putih yang membalutnya. seketika itu aku menundukukan wajahku dan memejamkan mataku, sembari membaca ayat-ayat suci yang bisa aku baca. Kakiku gemetaran.
Aku pun lari pulang tanpa menghiraukan teman-teman. “ itu tadi apa” pertanyaan itu selalu terucap dalam benakku sembari berlari menuju rumahku. Aku pun langsung menuju ruang keluarga dan mencari ketenangan dengan orang tuaku.
Dan hingga saat ini  aku tidak tahu makhluk apa yang menatapku itu. Apakah itu pocong seperti kata orang-orang, ataukah medon, ataukah genderuwo..aaaaah…perkenalan yang berkesan dari mereka yang berdunia lain.


Share:

0 Comments:

Post a Comment

Definition List

Unordered List

Support

Inspiration

Inspiration
none

Sports

Sports
none

Nature

Nature
none

Lifestyle

Lifestyle
none